Hadis Shahih dan Hasan
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam sejarah perkembangan ilmu hadis, terdapat banyak hadis
yang dipalsukan. Maka hal ini yang membuat perlu adanya pembenaran hadis yang
dapat diterima sanadnya. Beberapa hadis yang diterima keasliannya terbagi dalam
hadis sahih dan hadis hasan. Maka dari itu perlu kita mengkaji tentang hadis
sahih dan hadis hasan, agar tidak tercampur dengan hadis palsu.
B.
Rumusan Masalah.
1.
Apa pengertian hadis sahih
dan hadis hasan?
2.
Apa saja kriteria hadis
sahih dan hadis hasan?
3.
Apa saja macam-macam hadis
sahih dan hadis hasan?
C.
Tujuan Penulisan .
1.
Memaparkan pengertian hadis
sahih dan hadis hasan.
2.
Memaparkan kriteria hadis
sahih dan hadis hasan.
3.
Menyebutkan dan menjelaskan
macam-macam hadis sahih dan hasan.
D.
Sistematika Penulisan
Judul, Kata Pengantar, Daftar Isi, Bab I Pendahuluan, Bab II
Pembahasan, Bab III Penutup/simpulan, Daftar Pustaka.
E.
Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan ini diharapkan dapat menambah wawasan
pengetahuan pembaca terutama mahasiswa STAIN Pekalongan, dan menambah kecintaan
kita terhadap Rosulullah SAW.
F.
Metode Penulisan
Penulisan ini menggunakan metode literatur kepustakaan (library research). Dalam hal ini penulis
mengumpulkan data, informasi dan bahan dari berbagai buku, kamus, ensiklopedi,
jurnal yang berhubungan dengan hadis sahih dan hadis hasan di perpustakaan
STAIN Pekalongan dan perpustakaan kota Pekalongan.
BAB II PEMBAHASAN
Klasifikasi hadis berdasarkan diterima dan ditolak (kualitas) nya
ada 3 yaitu hadis sahih, hadis hasan dan hadis daif. Namun dalam makalah ini
penulis hanya akan memaparkan dua dari hadis tersebut, yakni hadis sahih dan
hadis hasan. Untuk hadis daif akan dipaparkan oleh kelompok selanjutnya.
A. Pengertian Hadis Sahih dan Hadis Hasan.
1.
Pengertian Hadis Sahih.
Kata sahih
berasal dari bahasa Arab yang berarti sehat.[1] Ada ulama
yang mengatakan as-shahih bentuk pluralnya ashihha’ dan berakar
kata pada shahha. Dari segi bahasa, kata ini memiliki beberapa arti,
diantaranya: (1) selamat dari penyakit, (2) bebas dari aib/cacat.[2] Ta’rif sahih
menurut lughat adalah lawan “saqim”, artinya sehat lawan sakit,
haq lawan batil.[3]
Menurut bahasa, sahih lawan dari sakit. Hakiki bagi fisik, majaz bagi
hadis dan untuk semua pengertian.[4] Kata sahih
(الْصَّحِيْحُ) dalam bahasa
diartikan orang sehat antonim dari kata as-saqim (السَّقِيْمُ) = orang yang sakit, jadi yang
dimaksud hadis sahih adalah hadis yang sehat dan benar tidak terdapat penyakit
dan cacat.[5]
Maka, dari penjelasan
secara bahasa dapat disimpulkan bahwa hadis sahih adalah hadis yang sehat dan benar.
Hal ini dikuatkan pula berdasarkan perspektif
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),[6] yang
menjelaskan bahwa pengertian hadis sahih adalah hadis yang benar (dapat
ditelusuri dan diandalkan orang-orang yang meriwayatkannya).
Menurut Istilah,
Hadis Sahih adalah hadis yang bersambung sanadnya diriwayatkan oleh orang yang
adil lagi kuat daya ingatannya dan yang semisalnya hingga puncak akhirnya,
terhindar dari syadz dan cacat.[7] Sedangkan
dalam Ensiklopedia Hadits[8],
pengertian hadis sahih ialah hadis yang sanadnya tersambung hingga rasulullah ﷺ, setiap perawinya
adalah orang muslim yang taat, tidak fasik, baligh, berakal, dan selalu menjaga
muru’ah (kehormatan diri), hafalannya
kuat, tidak syudzudz (menyelisihi
perawi yang lebih tsiqah
[terpercaya]) dan tidak mengandung ‘illah
(aib tersembunyi yang bisa merusak kesahihan hadis).
Menurut istilah
Muhaditsin Hadits sahih adalah:
مَا نَقْلُهُ عَدْلٌ تَامُّ الضَّبْطِ مُتَّصِلُ السَّنَدِ غَيْرُ
مُعَلِّلٍ وَلَاشَادٍّ
“Hadis yang dinukil
atau diriwayatkan oleh rawi-rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya
bersambung-sambung, tidak ber’illat dan tidak janggal”.[9]
Menurut ahli hadis,
hadis sahih adalah hadis yang sanadnya bersambung, dikutip oleh orang yang adil
lagi cermat dari orang yang sama, sampai berakhir pada Rasulullah SAW., atau
sahabat atau tabiin, bukan hadis yang syadz (kontroversi) dan terkena ‘illat
yang menyebabkan cacat dalam penerimaannya.[10]
Definisi hadis
sahih menurut Ibnu Shalah yang dikutip oleh Najib Kusnanto, dkk., [11] adalah:
أَمَّا الْحَدِيْثُ الصَّحِيْحُ فَهُوَ الْحَدِيْثُ الْمُسْنَدُ الَّذِى
يَتَّصَلُ إِسْنَادُهُ بِنَقْلِ الْعَدْلِ الضَّابِطِ
عَنِ الْعَدْلِ الضَّابِطِ إِلَى مُنْتَهَاهُ وَلَا يَكُوْنُ شَاذًّا
وَلَامُعَلَّلًا
Artinya: "Hadis sahih adalah hadis musnad (hadis yang
mempunyai sanad) yang bersambung sanadnya, dan dinukil oleh seorang yang adil
dan dabit, hingga akhir sanadnya, tanpa ada kejanggalan dan cacat".
Hadis sahih yaitu
suatu hadis dimana sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh para parawi yang adil
lagi dabit (kuat daya ingatnya), tidak syak (janggal), dan tidak
ber’illat (cacat).[12]
Jadi, kesimpulan dari
definisi tersebut diatas, bahwa secara istilah yang dimaksud dengan hadis sahih
yaitu hadis yang sanadnya bersambung (tidak putus) dan para rowi yang
meriwayatkan hadis tersebut adalah orang yang adil dan dabith (kuat daya
ingat hafalannya), serta dalam matan hadis tersebut tidak ada kejanggalan (syaz)
dan tidak terdapat cacat (‘illah).
2.
Pengertian Hadis Hasan.
Kata hasan berasal
dari kata al-husnu ((الْحُسْنُ
yang berarti al-jamalu (الْجَمَالُ) yang artinya kecantikan dan keindahan.[13] Menurut
bahasa, Hadis Hasan adalah sifat musyabbahah dari al-Husn berarti al-Jamal
(bagus).[14]
Dalam buku ulumul hadis karangan M.Solahudin dan Agus Suyadi juga menyebutkan
bahwa Hasan, menurut lughat adalah sifat musybahah dari
‘Al-Husna’, artinya bagus.[15]
Ta’rif Hadis Hasan
ialah:
مَا نَقْلُهُ عَدْلٌ قَلِيْلُ الضَّبْطِ مُتَّصِلُ السَّنَدِ غَيْرُ مُعَلِّلٍ
وَلَا شَادٍّ
“Hadis yang
dinukilkan oleh seseorang yang adil, tak begitu kokoh ingatannya, sanadnya
bersambung dan tidak terdapat ‘illat serta kejanggalan.”[16]
Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI)[17], hadis
hasan adalah hadis yang sanadnya lengkap, tetapi memiliki suatu sambungan
perawi yang lemah. Sedangkan dalam Ensiklopedia Hadits[18],
pengertian hadis hasan adalah hadis yang sanadnya tersambung hingga rasulullah ﷺ, setiap perawinya
adalah orang muslim yang taat, tidak fasik, baligh, berakal, dan selalu menjaga
muru’ah (kehormatan diri), tidak syudzudz (menyelisihi perawi yang lebih tsiqah [terpercaya]) dan tidak
mengandung ‘illah (aib tersembunyi
yang bisa merusak kesahihan hadis), tetapi hafalannya tidak terlalu kuat.
Adapun tentang
definisi hadis hasan, ada perbedaan pendapat dikalangan para muhadditsin. Pendapat
Abu Isa At-Tirmidzi tentang hadis hasan: hadis yang dalam sanadnya tidak
terdapat orang yang tertuduh bohong, hadisnya tidak janggal, serta diriwayatkan
tidak hanya dalam satu jalur rowian.
Definisi tersebut
masih umum dan hampir sama dengan definisi hadis sahih. Sebab, hadis sahih juga
mensyaratkan sanadnya tidak tertuduh dusta, hadisnya tidak janggal, dan tidak
hanya terdapat satu jalur rowi saja. Menurut Teungku Muhammad Hasbi
Ash-Shiddeqy[19]
hadis hasan ialah: hadis yang bersambung-sambung sanad-nya, yang diriwayatkan
oleh orang yang tidak mempunyai derajat terpercaya yang sempurna.” Meskipun
demikian, Menurut istilah para ulama berbeda pendapat dan beragam dalam
memberikan definisi hasan, karena hadis hasan merupakan pertengahan antara
hadis sahih dan hadis daif.[20]
Pendapat yang lebih kuat sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar
Al-Asqalani, yaitu: “Adalah suatu hadis yang bersambung sanadnya dan
diriwayatkan oleh orang yang adil, ringan kedhabitannya dan orang yang
semisalnya hingga puncak akhirnya, tanpa ada syadz dan cacat (‘illat).”
Definisi yang lebih
jelas dan detail adalah yang dikemukakan oleh kebanyakan ulama hadis, yaitu: hadis
yang dinukilkan oleh seorang yang adil tetapi tidak begitu kuat ingatannya,
bersambung sanadnya, dan tidak terdapat cacat serta kejanggalan pada matannya.[21]
Hadis hasan yaitu suatu hadis yang memenuhi persyaratan hadis sahih, namun pada
hadis hasan, daya ingatan parawinya tidak sesempurna parawi hadis sahih. Hadis
hasan juga dapat dijadikan sebagai dasar hukum/hujjah.[22]
Istilah Hadis Hasan
dipopulerkan oleh Imam al-Turmudzi. Alasannya, hadis semacam ini tidak pantas disebut
dha’if, tetapi kurang tepat disebut sahih, mengingat semua persyaratan sahih
hampir terpenuhi. Hanya, disana ada yang kurang dhabit periwayatnya.[23] Hadis
hasan ialah hadis yang sanadnya bersambung, oleh penukil yang adil namun tidak
terlalu kuat ingatannya, dan terhindar dari keganjilan serta penyakit.[24]
Jadi, kesimpulannya
bahwa pengertian hadis hasan adalah hadis yang sandarannya (sanad) bersambung,
oleh orang yang adil, muslim, tidak fasik, baligh, berakal, tidak ada cacat (‘illat)
dan tidak terdapat kejanggalan (syadz) tetapi daya ingat hafalannya (dhabith)
tidak sesempurna atau tidak terlalu kuat sebagaimana hadis sahih.
B. Kriteria Hadis Sahih dan Hadis Hasan.
Kriteria atau
persyaratan hadis, baik hadis sahih maupun hadis hasan adalah sebagaimana yang diturunkan
dari pengertian hadis sahih dan hadis hasan tersebut diatas. Bahwasanya hadis
hadis sahih dan hadis hasan memiliki kriteria sebagai berikut.
1.
Kriteria Hadis Sahih.
Dalam Ensiklopedi
Islam[25], hadis
sahih adalah hadis yang memenuhi persyaratan sebagai berikut.
a.
Sanadnya bersambung.
b.
Diriwayatkan oleh rawi yang
adil, memiliki sifat istiqomah, berakhlak baik, tidak fasik, terjaga muru’ah (kehormatan diri)-nya, dan dabit.
c.
Matannya tidak syazz (tidak mengandung kejanggalan)
serta tidak ber-illat (sebab-sebab
yang tersembunyi atau yang mencacatkan hadis).
Untuk memudahkan dalam memahami definisi hadis sahih
di atas, dapat dijelaskan bahwa hadis sahih adalah hadis yang memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
a.
Hadisnya musnad. Maksudnya
yaitu hadis tersebut disandarkan kepada Nabi SAW. dengan disertai sanad.
b.
Sanadnya bersambung.
Artinya, antara rowi dari sanad hadis tersebut pernah bertemu langsung dengan
gurunya.
c.
Seluruh rowinya adil dan
dabit. Maksud rowi yang adil yaitu rowi yang bertaqwa dan menjaga kehormatan
dirinya, serta dapat menjauhi perbuatan buruk dan dosa besar seperti syirik,
fasik, dan bid’ah. Adapun yang dimaksud dengan dabit adalah kemampuan seorang
rowi dalam menghafal hadis.
d.
Tidak ada syaz. Artinya, hadis tersebut tidak
bertentangan dengan hadis dari rowi lain yang lebih kuat darinya.
e.
Tidak ada ‘illah. Artinya, dalam hadis tersebut
tidak ditemui cacat yang merusak kesahihan hadis.[26]
Kriteria Hadis
Sahih dapat diambil dari pengertian hadis sahih sendiri yang mengandung 5
kriteria diantaranya:
a. Persambungan sanad. (إِتَّصَالُ السَّنَدِ) Sanadnya bersambung (tidak terputus),
musnad dan matannya mar’fu.
Kebersambungan sanad dalam perawiyan hadis,
artinya bahwa seorang perawi dengan perawi hadis di atasnya atau perawi di bawahnya
terdapat pertemuan langsung (liqa’) atau adanya pertautan langsung dalam
bentuk relasi guru-murid, mulai dari awal hingga akhir sanad.[27]
Yang dimaksud ketersambungan sanad adalah
bahwa setiap rawi hadis yang bersangkutan benar-benar menerimanya dari rawi
yang berada di atasnya dan begitu selanjutnya sampai kepada pembicara yang
pertama.[28]
Bersambung sanadnya: artinya tiap-tipa perawi
lainnya benar-benar mengambil secara langsung dari orang yang ditanyanya, dari
sejak awal hingga akhir sanadnya.[29]
Musnad yaitu mutashilnya sanad dan marfu’nya
matan. Dan yang dimaksud dengan mutashil atau bersambung atau tidak putusnya
sanad, yakni selamat dari keguguran, tiap-tipa rawi saling bertemu dan menerima
langsung dari guru yang memberinya (mengajarinya). Matan yang marfu’, artinya idhafah
kepada Nabi SAW.[30]
Persambungan sanad artinya setiap perawi
dalam sanad bertemu dan menerima periwayatan dari perawi sebelumnya baik secara
langsung (مُبَاشَرَةٌ)
atau secara hukum (حكمي) dari
awal sanad sampai akhirannya.[31]
b. Perawinya adil.
Para perawi adil (‘adalat al-ruwat).
Term ‘adalah (adil) secara etimologi berarti pertengahan, lurus, condong
kepada kebenaran. Dalam terminologi ilmu hadis terdapat beberapa rumusan
definisi yang dikemukakan para ulama. Diantaranya al-Hakim dan al-Naisaburi
yang menyatakan bahwa ‘adalah seorang muhaddits dipahami sebagai
seorang muslim, tidak berbuat bid’ah dan maksiyat yang dapat meruntuhkan
moralitasnya.[32]
Menurut al-Razi yang dikutip oleh Endang
Soetari,[33]
keadilan ialah jiwa yang mendorong untuk selalu bertindak taqwa, menjauhi
dosa-dosa besar, menjauhi kebiasaan melakukan dosa-dosa kecil dan meninggalkan
perbuatan-perbuatan mubab yang menodai muru’ah, seperti makan sambil
berdiri di jalan, buang air (kencing) di tempat yang bukan disediakan untuknya
dan bergurau yang berlebih-lebihan.
Pengertian dan ketentuan adil dalam
periwayatan berbeda dengan adil dalam kesaksian. Di dalam kesaksian (syahadah)
dikatakan adil jika terdiri dari dua orang laik-laki yang merdeka. Sedangkan
dalam periwayatan cukup seorang saja, baik seorang perempuan, budak atau
merdeka.[34]
Adilnya para perawi: artinya tiap-tiap perawi
itu seorang muslim, baligh bukan fasiq dan tidak pula jelek perilakunya.[35]
Hal ini sama dengan yang disampaikan oleh Bapak Abdul Kholid Ma’rufi, M.Pd.I dalam
power pointnya pada perkuliahan ulumul hadis hari selasa, tanggal 5 April 2016 pukul
13.40-16.10 yakni:
العدل : مسلم – بالغ
عاقل – غيرفاسق – غيرمخروم المروءة.
Keadilan para perawi (‘adalah ar-ruwah),
pengertian adil dalam bahasa adalah seimbang atau meletakkan sesuatu pada
tempatnya, lawan dari zalim. Dalam istilah periwayatan orang yang adil adalah:
مَنِ اسْتَقَامَ دِيْنُهُ وَ حَسُنَ
خُلُقُهُ وَسَلِمَ مِنَ الْفِسْقِ وَخَوَارِمِ الْمُرُوْءَةِ
“adil adalah orang yang konsisten (istiqomah) dalam beragama,
baik akhlaknya, tidak fasik dan tidak melakukan cacat muruah.” [36]
c. Dhabith (kuat hafalannya / daya ingat hafalannya
tinggi)
Yang dimaksud dengan dhabith ialah
orang yang terpelihara, kuat ingatannya lebih banyak daripada kesalahannya.[37]
Dabith adalah bahwa rawi yang bersangkutan dapat menguasai hadisnya dengan
baik, baik dengan hafalan yang kuat atau dengan kitabnya, lalu ia mampu
mengungkapkannya kembali ketika meriwayatkannya.[38]
Kuat hafalan para perawinya artinya
masing-masing perawinya sempurna daya ingatannya, baik berupa kuat ingatan
dalam dada maupun dalam kitab.[39]
Para perawi dhabit (dhawabith al-ruwat),
aspek intelektual (dhabith) perawi yang dikenal dalam ilmu hadis
diapahami sebagai kapasitas kecerdasan perawi hadis. Istilah dhabith ini
secara etimologi memiliki arti menjaga sesuatu.[40]
Dhabit ada dua macam :
1) Dhabit al-Shadri, yakni
seorang yang mempunyai daya hafal dan ingatan yang kuat, serta faham yang
tinggi, sejak dari menerima sampai pada menyampaikan kepada orang lain dan
ingatannya itu sanggup dikeluarkan kapan dan dimana saja dikehendakinya.
2) Dhabith al-kitab / dhabtu
kitab, yaitu seorang yang dhabith atau cermat memelihara cacatan atau buku
yang ia terima.[41] Atau
apa yang disampaikan itu berada pada buku catatannya (teks book).[42]
Rawi yang ‘adil dan sekaligus
dhabith disebut tsiqat.[43]
d. Tidak ada kejanggalan (syadz).
Tidak terjadi kejanggalan (syadzadz). Syadz
dalam bahasa berarti ganjil, terasing, atau menyalahi aturan. Maksud syadz disini
adalah periwayatan orang tsiqah (terpercaya yakni adil dan dhabith)
bertentangan dengan periwayatan orang yang lebih tsiqah.[44]
Tidak ada syadz (bertentangan):
artinya hadis itu benar-benar tidak syadz, dalam arti bertentangan atau
menyelisihi orang yang terpercaya dan lainnya.[45]
Tidak syadz (janggal). Kejanggalan
hadis terletak pada adanya perlawanan antara suatu hadis yang diriwayatkan oleh
perawi yang maqbul (yang dapat diterima periwayatannya) dengan hadis
yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih kuat (rajih) dari padanya,
disebabkan kelebihan jumlah sanad dalam ke-dhabit-an atau adanya segi-segi tarjih
yang lain.[46]
e. Tidak cacat (‘illat).
Tanpa ‘illat.
Tidak ber-‘illat maksudnya bahwa hadis yang
bersangkutan terbebas dari cacat kesahihannya, yakni hadis itu terbebas dari
sifat-sifat samar yang membuatnya cacat, meskipun tampak bahwa hadis itu tidak
menunjukan adanya cacat tersebut.[47]
Dalam bahasa arti ‘illat = penyakit, sebab, alasan, atau udzur. Sedangkan arti
‘illat disini adalah suatu sebab tersembunyi yang membuat cacat keabsahan suatu
hadis padahal lahirnya selamat dari cacat tersebut.[48]
Kata ‘illat secara lughawi berarti sakit. Ada pula yang mengartikan sebab dan
kesibukan. Adapun dalam terminologi ilmu hadis, ‘illat didefinisikan sebagai
sebuah hadis yang didalamnya terdapat sebab-sebab tersembunyi, yang dapat
merusak keshahihan hadis secara lahir tampak sahih.[49]
‘illat hadis ialah suatu penyakit yang samar-samar yang dapat menodai
keshahihan hadis.[50]
2.
Kriteria Hadis Hasan.
Kriteria hadis
hasan hampir sama dengan kriteria hadis sahih. Perbedaannya hanya terletak pada
sisi ke-dhabit-annya. Dalam Ensiklopedi Islam[51], hadis
hasan adalah hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang
adil, tetapi tidak sempurna dabit-nya,
serta matannya tidak syazz dan ber-illat. Hadis hasan dengan syarat
demikian juga disebut hadis hasan li zatih. Tetapi, bila dalam sanadnya
terdapat rawi yang tidak dikenal/diketahui, namun ia bukan orang yang terlalu
banyak membuat kesalahan, dinamakan hasan li gairih.
Adapun kriteria hadis
hasan itu ada lima, yaitu:
a.
Muttasil sanadnya.
b.
Rawinya adil.
c.
Rawinya dhabith.
Kedhabitan rawi
disini tingkatannya dibawah kedhabitan rawi hadis sahih, yakni kurang sempurna
kedhabitannya.
d.
Tidak termasuk hadis syadz.
C. Macam-Macam Hadis Sahih dan Hadis Hasan.
1.
Macam-Macam Hadis Sahih.
Hadis shahih dibagi menjadi dua macam: 1) hadis
shahih li dzatihi, dan 2) hadis shahih li ghairihi.[53]
a.
Sahih li dzatihi = sahih
dengan sendirinya.
Hadis yang karena
keadaan dirinya sendiri telah memenuhi kelima kriteria hadis sebagaimana
dikemukakan di atas.[54] Yaitu
hadis yang memenuhi syarat-syarat hadis sahih, seperti rowi harus adil, rowi
kuat ingatannya (dabit), sanadnya tidak putus, matannya tidak mempunyai cacat,
dan tidak ada kejanggalan.[55]
مَا اشْتَمَلَ عَلَى اَعْلَى صِفَاتِ الْقَبُوْلِ
“Hadis yang
melengkapi setinggi-tinggi sifat yang lurus mengharuskan kita menerimanya.”[56]
b.
Sahih li gairihi = sahih
karena selainnya.
Hadis yang sahihnya
lantaran dibantu oleh keterangan yang lain. Jadi, pada diri hadis itu belum
mencapai kualitas sahih, kemudian ada petunjuk atau dalil lain yang
menguatkannya sehingga hadis tersebut meningkat menjadi sahih li ghairihi.[57] Yaitu
hadis yang memenuhi syarat-syarat hadis sahih, tetapi ada salah satu syaratnya
tidak lengkap. Dalam hal ini, syarat kedhobitan rowi tidak terpenuhi. Jadi,
hadis sahih li gairih adalah hadis yang berkualitas sahih, namun salah satu
rowinya tidak dabit (lemah hafalannya).[58]
2.
Macam-Macam Hadis Hasan.
Para ulama hadis
membagi hadis hasan menjadi dua bagian, yaitu hadis hasan li dzatih dan
hadis hasan li ghairih.
a.
Hasan li dzatihi = hasan
dengan sendirinya.
Hadis hasan li dzatih
adalah hadis hasan dengan sendirinya, karena telah memenuhi segala kriteria dan
persyaratan yang ditentukan.[59] Ingatan
perawinya setingkat dibawah perawi hadis sahih dengan memunculkan aspek
kehasanannya,[60]
atau hadis yang memenuhi segala syarat-syarat hadis hasan disebut hadis hasan
li dzatih.[61]
Atau yang dimaksud ialah hadis yang
telah memenuhi persyaratan/kriteria hadis hasan di atas. Dengan demikian
pengertian hadis hasan li dzatih sama dengan pengertian hadis hasan sebagaimana
telah diuraikan diatas.[62]
b.
Hasan li ghairihi = hasan
karena selainnya.
Adapun yang
dimaksud dengan hadis hasan li ghairih ialah hadis hasan yang tidak memenuhi
persyaratan hadis hasan secara sempurna atau pada dasarnya hadis tersebut
adalah hadis dhaif, tetapi karena ada sanad atau matan lain yang menguatkannya
(syahid atau mutabi’), maka kedudukan hadis dhaif tersebut naik derajatnya
menjadi hasan li ghairih.[63]
Dalam rangkaian
sanadnya terdapat orang yang tidak diketahui kelayakan atau ketidaklayakannya
untuk diterima riwayat hadisnya, tetapi ia juga bukan orang yang lengah dan
suka berbuat dusta dan salah.[64]
D. Perbedaan Hadis Sahih dan Hadis Hasan.
Perbedaan antara
hadis sahih dan hadis hasan memang sangat sedikit dan tipis. Bahkan sebagian
ulama hadis mengatakan bahwa antara hadis sahih li gairih dan hadits hasan li dzatih
adalah sama. Hal ini dapat dilihat dari definisi yang dikemukakan oleh Ibnu
Hajar Al-Asqalani bahwa hadis hasan adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang
yang adil, sanadnya bersambung, memiliki daya ingat yang kuat, tidak terdapat ‘illah, dan tidak syaz. Maka inilah yang disebut sahih li zatih. Namun, jika daya
ingat (kedhobitan) rowi kurang, maka hadis yang diriwayatkannya dinamakan hasan
li dzatih.[65]
Dari Pengertian Hadis Sahih dan
pengertian Hadis Hasan tersebut, maka dapat dilihat perbedaannya terdapat pada
hafalan perawinya, yaitu hafalan perawi hadis sahih lebih kuat daripada hafalan
atau daya ingat perawi hadis hasan.
E. Hukum Memakai Hadis Sahih dan Hadis Hasan.
Hukum memakai hadis
sahih adalah wajib, sebagaimana kesepakatan para ahli hadis dan para fuqoha.
Argumennya adalah hadits sahih adalah salah satu sumber hukum syariat, sehingga
tidak ada alasan untuk mengingkarinya.[66] Adapun
mengenai hukum-hukum hadis sahih ialah sebagai berikut:
1.
Berakibat kepastian hukum.
2.
Imperatif diamalkan dan Imperatif
untuk menerimanya.
3.
Imperatif segera diamalkan
tanpa menunggu sampai adanya dalil yang bertentangan.
4.
Hadis sahih tidak
membahayakan, bahwa hadis sahih walaupun hanya diriwayatkan oleh seorang
sahabat saja tidak membahayakan, yakni tidak mengurangi kadar kesahihannya.
Hukum memakai hadis
hasan sama dengan hadis sahih, walaupun dari sisi kekuatannya hadis hasan
berada di bawah level hadis sahih. Demikian menurut ahli fikih (fuqoha) dan
mayoritas ahli hadis juga memakai hadis hasan sebagai hujjah, seperti al-Hakim,
Ibnu Hibban, dan Ibnu Khuzaimah. Namun, pengelompokan hadis hasan ke dalam hadis
sahih itu disertai pendapat bahwa hadis hasan tersebut dibawah kualitas /
derajat hadis sahih.[68] Apabila
bertentangan, didahulukan hadis shahih.[69]
BAB III PENUTUP
A. Simpulan
Hadis sahih yaitu hadis yang sanadnya bersambung (tidak
putus) dan para rowi yang meriwayatkan hadis tersebut adalah orang yang adil
dan dabith (kuat daya ingat hafalannya), serta dalam matan hadis
tersebut tidak ada kejanggalan (syaz) dan cacat (‘illah). Sedangkan hadis hasan ialah hadis yang
sanadnya bersambung, oleh penukil yang adil namun tidak terlalu kuat
ingatannya, dan terhindar dari keganjilan serta penyakit.
Kriteria hadis
sahih, yaitu:
a.
Sanadnya bersambung.
b.
Diriwayatkan oleh rawi yang
adil, memiliki sifat istiqomah, berakhlak baik, tidak fasik, terjaga muru’ah (kehormatan diri)-nya, dan dabit.
c.
Matannya tidak syazz (tidak mengandung kejanggalan)
serta tidak ber-illat (sebab-sebab
yang tersembunyi atau yang mencacatkan hadis).
Adapun kriteria hadis hasan itu ada
lima, yaitu:
a.
Muttasil sanadnya.
b.
Rawinya adil.
c.
Rawinya dhabith.
Kedhabitan rawi disini tingkatannya
dibawah kedhabitan rawi hadis sahih, yakni kurang sempurna kedhabitannya.
d.
Tidak termasuk hadis syadz.
e.
Tidak terdapat illat (cacat).
Hadits
shahih dibagi menjadi dua macam: 1) hadits shahih li dzatihi, dan 2) hadits
shahih li ghairihi. Sedangkan hasan menjadi dua bagian, yaitu hadis
hasan li dzatih dan hadis hasan li ghairih.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Bukhari,
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail, Shahih Bukhari, 2012. Ensiklopedia Hadits Jilid 1, penerjemah
Subhan Abdullah, Idris dan Imam Ghazali, Jakarta: Almahira
Al-Maliki,
Muhammad Alawi, 2009. Ilmu Ushul
Hadis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ash-Shiddieqy, Hasbi, 1985. Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits, Jil.I
Jakarta: Bulan Bintang
, Teungku Muhammad Hasbi, 2009. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits,
Semarang: Pustaka Rizki Putra
As-Shalih, Subhi, 2009. Membahas Ilmu-Ilmu
Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 2001. Ensiklopedi Islam Jilid 2, Jakarta:
Ichtiar Baru Van Hoeve
Gufron, Mohammad dan Rahmawati, 2013. Ulumul
Hadits Praktis dan Mudah, Yogyakarta: Teras
Khon, Abdul Majid, 2009. Ulumul Hadis, Jakarta:
Amzah
Kusnanto, Najib, dkk., 2013. Modul Hikmah Qur’an Hadits KTSP 10 Semester
Genap, Sragen: Akik Pustaka
Mimbar, dkk., 2015. Diktat Pembelajaran
MGMP MTs Se-Eks karesidenan Pekalongan
Qur’an Hadits Untuk MTs kelas VII semester 1, Pekalongan: Kemdiknas
Mudasir, 2008. Ilmu
Hadis, Bandung: Pustaka Setia
Soetari, Endang, 2008. Ilmu Hadits: Kajian
Riwayat dan Dirayah,Bandung: Mimbar Pustaka
Solahudin, M. dan Agus Suyadi, 2009. Ulumul
Hadis, Bandung: Pustaka Setia
Sugono, Dendi, dkk., Tim Redaksi KBBI Pusat
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Edisi Keempat, 2012. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat,
Jakarta: Gramedia
Sumbulah, Umi, 2010. Kajian Kritis Ilmu
Hadis, Malang: Uin-Maliki Press
Suryadilaga, Alfatih, dkk., 2010. Ulumul
Hadits, Yogyakarta: Teras
Thahhan, Mahmud, 2004. Taisir Muthalah
Hadis, Beirut: Darul Tsaqafah Islamiyah Cet. VII diterjemahkan oleh Zainul Muttaqim, dengan judul Ulumul
Hadis: Studi Kompleksitas Hadis Nabi, Cet. IV Yogyakarta: Titian Ilahi
Press & LP2KI
Zuhri, Muh., 2011. Hadis Nabi Telaah
Historis dan Metodologis, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya
[1] Umi
Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, (Malang: Uin-Maliki Press, 2010),
hlm. 111
[2] Alfatih
Suryadilaga, dkk., Ulumul Hadits, (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm. 244
[3] Endang
Soetari, Ilmu Hadits: Kajian Riwayat dan Dirayah, (Bandung: Mimbar
Pustaka, 2008), hlm. 132
[4] Mahmud
Thahhan, Taisir Muthalah Hadis, (Beirut: Darul Tsaqafah Islamiyah) Cet.
VII diterjemahkan oleh Zainul Muttaqim,
dengan judul Ulumul Hadis: Studi Kompleksitas Hadis Nabi, Cet. IV
(Yogyakarta: Titian Ilahi Press & LP2KI, 2004), hlm. 42
[5] Abdul
Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 149
[6] Dendi
Sugono, dkk., Tim Redaksi KBBI Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional
Edisi Keempat, Kamus Besar Bahasa
Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat, (Jakarta: Gramedia, 2012), hlm. 473
[7] Mahmud
Thahhan, Loc.Cit.
[8] Abu
Abdullah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari, Ensiklopedia Hadits Jilid 1, penerjemah Subhan Abdullah, Idris dan
Imam Ghazali, (Jakarta: Almahira, 2012), hlm. V Lihat pula jilid II halaman
yang sama.
[9] Endang Soetari, Loc.Cit.
[10] M. Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul
Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm.141
[11] Najib
Kusnanto, dkk., Modul Hikmah Qur’an
Hadits KTSP 10 Semester Genap, (Sragen: Akik Pustaka, 2013), hlm. 48-49
[12] Mimbar,
dkk., Diktat Pembelajaran MGMP MTs Se-Eks
karesidenan Pekalongan Qur’an Hadits
Untuk MTs kelas VII semester 1, (Pekalongan: Kemdiknas, 2015), hlm. 11
[13] Najib
Kusnanto, dkk., Op.Cit., hlm. 50
[14] Mahmud
Thahhan, Op.Cit., hlm. 51
[15] M.
Solahudin dan Agus Suyadi, Op.Cit. hlm. 145
[16] Endang
Soetari, Op.Cit., hlm.134
[17] Dendi
Sugono, dkk., Op.Cit., hlm. 473
[18] Abu
Abdullah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari, Loc.Cit.
[19] Teungku Muhammad Hasbi
Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu
Hadits, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 162
[20] Mahmud
Thahhan, Op.Cit., hlm. 51
[21] Najib Kusnanto, dkk., Op.Cit.,
hlm. 50
[22] Mimbar,
dkk., Loc.Cit.
[23]
Muh.Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis, (Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya, 2011), hlm. 93
[24] Subhi
As-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009),
hlm. 151
[25] Dewan
Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi
Islam Jilid 2, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001), hlm. 50
[26] Najib
Kusnanto, dkk., Op.Cit., hlm. 49
[27] Umi
Sumbulah, Op.Cit, hlm. 97
[28] M.
Solahudin dan Agus Suyadi, Op.Cit., hlm. 143
[29] Mahmud
Thahhan, Op.Cit, hlm. 42
[30] Endang
Soetari, Op.Cit, hlm. 134
[31] Abdul
Majid Khon, Op.Cit, hlm. 150
[32] Umi
Sumbulah, Op.Cit, hlm. 97
[33] Endang
Soetari, Op.Cit., hlm. 132 Lihat pula M. Solahudin dan Agus Suyadi, Op.Cit.,
hlm. 142
[34] Ibid.,
hlm. 133
[35] Mahmud
Thahhan, Op.Cit., hlm. 42
[36] Abdul
Majid Khon. Op.Cit., hlm. 151
[37] Endang
Soetari, Op.Cit, hlm. 133
[38]
M.Solahudin dan Agus Suyadi, Op.Cit., hlm. 142
[39] Mahmud
Thahhan, Loc.Cit
[40] Umi
Sumbulah, Op.Cit., hlm. 98
[41] Endang
Soetari, Op.Cit, hlm. 133
[42] M.
Solahudin dan Agus Suyadi. Op.Cit., hlm. 143
[44] Abdul
Majid Kho, Op.Cit., hlm. 152
[45] Mahmud
Thahhan, Loc.Cit
[46] Endang
Soetari, Op.Cit., hlm. 134. Lihat pula M. Solahudin dan Agus Suyadi, Op.Cit.,
hlm.144
[47]
M.Solahudin dan Agus Suyadi, Op.Cit., hlm. 143
[48] Abdul
Majid Khon, Op.Cit., hlm. 153
[49] Umi
Sumbulah, Op.Cit., hlm. 98-99
[50] Endang
Soetari, Op.Cit., hlm. 134
[51] Dewan
Redaksi Ensiklopedi Islam, Op.Cit., hlm. 50-51
[52] Muhammad Alawi Al-Maliki,
Ilmu Ushul Hadis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 59
[53] Mohammad Gufron dan Rahmawati, Ulumul Hadits
Praktis dan Mudah, (Yogyakarta: Teras, 2013), hlm. 121.
[54] Alfatih
Suryadilaga, dkk., Op.Cit, hlm. 249
[55] Najib
Kusnanto, dkk.,Op.Cit., hlm. 50
[56] Hasbi
Ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu
Dirayah Hadits, Jil.I (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), hlm. 111
[57] Alfatih
Suryadilaga, Op.Cit, hlm. 250
[58] Najib
Kusnanto, dkk., Op.Cit., hlm. 50
[59] Abdul
Majid Khon, Op.Cit., hlm. 160
[60] Umi
sumbulah, Op.Cit., hlm. 100
[61] M.
Solahudin dan Agus Suyadi, Op.Cit., hlm.146
[62] Mudasir, Ilmu Hadis,
(Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 154
[63] Ibid., hlm. 154
[64] Umi
Sumbulah, Op.Cit., hlm. 100
[65] Najib
Kusnanto, dkk., Op.Cit., hlm. 50
[67] Muhammad Alawi Al-Maliki,
Op.Cit., hlm. 53-54
[68] Najib
Kusnanto, dkk., Op.Cit., hlm. 50
Komentar
Posting Komentar